Please ensure Javascript is enabled for purposes of Kementerian Pertanian RI
1
Chatbot
Selamat datang, silahkan tanyakan sesuatu

Peluang dan Tantangan Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia

  • 30/08/2024 13:49:49
  • By : Administrator
  • 232
Peluang dan Tantangan Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia

Oleh:  Adi Widiyanto, SP., MP.

Tidak dapat dipungkiri revolusi hijau telah mampu meningkatkan produksi pangan untuk menjawab kekhawatiran terjadinya kelangkaan pangan yang besar. Revolusi hijau dijalankan dengan prinsip intensifikasi dan ekstensifikasi. Dalam pelaksanaannya, revolusi hijau mengandalkan varietas unggul yang berdaya tanggap besar terhadap masukan berupa pupuk kimia, hama dan penyakit utama dikendalikan secara kimiawi atau dengan ketahanan varietas, ditanam secara monokultur, ada insentif menarik berupa subsidi dan didukung dengan system irigasi yang baik. Ekstensifikasi dilakukan dengan membuka banyak lahan baru untuk persawahan. Keberhasilan revolusi hijau dalam menghasilkan pangan bagi dunia ternyata disisi lain menghasilkan akibat samping yang besar dan kompleks. Revolusi hijau membawa dampak lingkungan dan sosial secara luas.  

Tidak terkecuali di Indonesia, keberhasilan pembangunan pertanian selama ini telah memberikan dukungan yang sangat tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, namun demikian disadari bahwa dibalik keberhasilan tersebut terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Produksi yang tinggi yang telah dicapai banyak didukung oleh teknologi yang memerlukan input (masukan) bahan-bahan anorganik yang tinggi terutama bahan kimia pertanian seperti pupuk urea, TSP/SP-36, KCl, pestisida, herbisida, dan produk-produk kimia lainnya yang berbahaya bagi kesehatan dengan dosis yang tinggi secara terus-menerus, terbukti menimbulkan banyak pencemaran yang dapat menyumbang degradasi fungsi lingkungan dan perusakan sumberdaya alam, serta penurunan daya dukung lingkungan.         

Adanya kesadaran akan akibat yang ditimbulkan dampak tersebut, perhatian masyarakat dunia perlahan mulai bergeser ke pertanian yang berwawasan lingkungan. Dewasa ini masyarakat sangat peduli terhadap alam dan kesehatan, maka muncullah teknologi alternatif lain, yang dikenal dengan “pertanian organik”, “usaha tani organik”, “pertanian alami”, atau “pertanian berkelanjutan masukan rendah”. Pengertian tersebut pada dasarnya mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, yaitu untuk melukiskan sistem pertanian yang bergantung pada produk-produk organik dan alami, serta secara total tidak termasuk penggunaan bahan-bahan sintetik.

Beberapa tahun terakhir dan di masa yang akan datang, konsumen semakin sadar untuk mengkonsumsi produk-produk yang sehat, tidak tercemar, aman dari racun sebagaimana yang disinyalir dihasilkan oleh pertanian modern yang banyak menggunakan bahan-bahan sintetik dan kimia. Orang semakin arif memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.  Gaya hidup sehat “back to nature” makin menggaung mengurangi dominasi pola hidup lama yang mengandalkan penggunaan bahan kimia non alami, seperti pupuk anorganik, pestisida kimia sintesis dan hormone tumbuh dalam produksi pertanian.  Pangan yang sehat dan bergizi dapat diproduksi dengan cara yang dikenal sebagai pertanian organik.

Apa yang dimaksud dengan ‘pertanian organik?’.  Banyak definisi dan pengertian yang disampaikan para ahli dan praktisi pertanian organik. Beberapa diantaranya adalah Pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.

Pertanian organik (Organic Farming) adalah suatu sistem pertanian yang mendorong tanaman dan tanah tetap sehat melalui cara pengelolaan tanah dan tanaman yang disyaratkan dengan pemanfaatan  bahan-bahan organik atau alamiah sebagai input, dan menghindari penggunaan pupuk buatan dan pestisida kecuali untuk bahan-bahan yang diperkenankan ( IASA, 1990).

Secara substansi pertanian organik bukanlah barang baru. Sebelum ditemukan pupuk dan obat-obatan kimia sintetis, bisa dikatakan semua kegiatan produksi pertanian merupakan pertanian organik.

Di Indonesia sendiri, gaung pertanian organik sudah berkembang sekitar tahun 1990, akan tetapi pemainnya dapat dihitung dengan jari (Trubus No. 363, 2000). Kemudian meningkat pesat sejak terjadi krisis moneter, dimana sebagian besar saprodi yang digunakan petani melonjak harganya berkali-kali lipat. Petani mulai melirik alternatif lain dengan model pertanian organik.

Sayangnya pangsa pasar produk organik di Indonesia belum termonitor. Di Indonesia, perhatian terhadap produk organik masih kurang, namun sebagian masyarakat telah memahami akan pentingnya mengkonsumsi makanan yang aman dan sehat. Karena itu produk organik memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan di masa depan, baik untuk pasar domestik maupun luar negeri. Ditambah harga pupuk dan pestisida semakin mahal, tidak terjangkau petani sehingga petani akan mencari alternatif pengganti yang lebih murah dan selalu tersedia dan melimpah di daerah yaitu bahan-bahan organik (alamiah).

Prospek pengembangan pertanian organik dunia cukup menjanjikan, mengingat pasar produk ini diperkirakan tumbuh hingga US$5 miliar/tahun. International Federation of Organic Agriculture Movement (IFOAM) mencatat, nilai ekspor produk pertanian organik dari Asean mencapai US$65 miliar pada 2012 dan diestimasi menembus US$70 miliar pada tahun 2013.

Permintaan negara maju terhadap produk organik pesat, tapi suplai sangat kurang.  Pesatnya pertumbuhan pertanian organik juga dipengaruhi oleh keinginan negara kaya dan maju untuk terus meningkatkan indeks pembangunan manusia (HDI)

Sedangkan di dalam negeri sendiri, khususnya di kota-kota besar meningkatnya kesadaran dan dan perubahan gaya hidup yang lebih memperhatikan kesehatan juga memberikan andil terhadap meningkatnya permintaan terhadap produk pangan yang sehat yang dihasilkan dari pertanian organik.  Hal ini didukung dan ditandai dengan semakin maraknya supermarket, gerai dan toko yang membuka  outlet organik. Namun sejauh ini data berapa jumlah permintaan produk organik untuk  pasar dalam negeri belum tersedia.

Kondisi ini merupakan peluang besar untuk pengembangan pertanian organik di Indonesia.  Untuk itu keterlibatan yang lebih dalam dari kalangan pelaku usaha pertanian dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia sangat diharapkan.

Luas lahan yang tersedia untuk pertanian organik di Indonesia sangat besar. Dari 75,5 juta ha lahan yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, baru sekitar 25,7 juta ha yang telah diolah untuk sawah dan perkebunan (BPS, 2000).

Meskipun demikian,  perkembangan pertanian organik di Indonesia sendiri belum cukup menggembirakan, baik dari luas areal tanam dan kultur pelaku.

Apabila kita melihat kenyataan saat ini, Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk mencapai 250 juta penduduk (Sensus 2013). Tentu bukan urusan yang mudah bagi negara untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat sebanyak itu. Sehingga pada akhirnya kebijakan yang diambil adalah meningkatkan produksi dan produktivitas melalui intensifikasi peningkatan indeks tanam pertahunnya dan perluasan areal tanam (ekstensifikasi). Dimana untuk pencapaiannya masih bergantung pada penggunaan bahan-bahan kimia baik pupuk maupun pestisida, walaupun dalam penerapannya telah dikombinasikan dengan mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan seperti menerapkan pengendalian hama dan penyakit  terpadu.

Mencermati pada kondisi tersebut, agaknya secara teknis penerapan pertanian organik secara menyeluruh masih belum dapat dilaksanakan jika memang arah pertanian kita saat ini berfokus pada peningkatan produktivitas. Pertanian organik tidak dapat meningkatkan hasil per satuan luas, bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu apabila aplikasinya tidak tepat. Jelas ini bertentangan dengan keberlanjutan pangan. Pertanian organik hanya cocok untuk diterapkan pada komoditas-komoditas tertentu saja yang memiliki nilai ekonomis sangat tinggi dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat kalangan atas, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Secara teknis bisa kita bayangkan saja, apabila kita memiliki lahan seluas satu hektar, kemudian kita tanam dengan sistem pertanian organik penuh, maka berapa banyak ton jerami dan pupuk kandang yang kita perlukan? Bagaimana cara kita mendapatkan input sebanyak itu? Berapa banyak tenaga kerja dan waktu yang kita kerahkan? 13 ton jerami yang kita perlukan untuk mengganti kebutuhan pupuk urea 200 kg dalam satu hektar. Belum lagi mahalnya harga pestisida organik dan belum adanya kepastian dari uji efektivitas dan efisiensi aplikasi pestisida organik. Hal-hal tersebut hanyalah beberapa tantangan yang dihadapi terutama dari aspek teknis budidaya, karena sebenarnyalah masih lebih banyak tantangan dari aspek-aspek lainnya.

Demikian sedikit ulasan ringkas mengenai peluang dan tantangan yang masih dihadapi dalam pengembangan pertanian organik di Indonesia.

 

Referensi

http://www.academia.edu/23027184/Pembangunan_pertanian_berkelanjutan_berbasis_sistem_ pertanian_organik

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

http://documentslide.com/documents/pengertian-pertanian-organik-568b892099bf6.html

http://alamtani.com/pertanian-organik.html

http://www.academia.edu/23027184/Pembangunan_pertanian_berkelanjutan_berbasis_sistem_ pertanian_organik

Bisnis.com, JAKARTA Juni 19/ 2014.

http://agrisocio.com/sudah-pantas-kah-pertanian-organik-diterapkan.

Lampiran File Download
1 Peluang dan Tantangan Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia (Download)