Biochar Didorong Jadi Teknologi Kunci Pertanian Rendah Karbon.
BOGOR – Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian bersama Asosiasi Biochar Indonesia dan Japan National Agriculture and Food Research Organization (NARO) menggelar Workshop on Quality of Biochar to Strengthen Agricultural Human Resource Development in Indonesia pada Rabu (10/12/2025), di Bogor.
Hadir sebagai narasumber: Prof. Dr. Dedi Nursyamsi (Penyuluh Ahli Utama Kementan), Prof. Mitsuru Osaki (Hokkaido University), Dr. Akira Shibata (Ritsumeikan University), dan Prof. Dr. Ir. Bambang Kusumo, M.Agr (Ketua Asosiasi Biochar Indonesia).
Workshop ini membahas peluang besar pemanfaatan biochar di Indonesia. Biochar merupakan bahan berkarbon hasil pirolisis biomassa yang berfungsi sebagai pembenah tanah sekaligus penyimpan karbon jangka panjang.
Indonesia memiliki keunggulan biomassa melimpah, sekam padi, tongkol jagung, cangkang sawit hingga tempurung kelapa, namun kualitas biochar masih bervariasi karena perbedaan bahan baku dan proses produksi. Kondisi ini menghambat adopsi luas, termasuk pemanfaatannya untuk pasar karbon nasional dan internasional.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman sebelumnya telah menegaskan pentingnya percepatan teknologi pertanian rendah emisi. BPPSDMP memperkuat arahan tersebut melalui peningkatan kapasitas SDM dan standardisasi biochar. Kepala BPPSDMP, Idha Widi Arsanti, menegaskan bahwa penguatan kompetensi produsen biochar hingga penyuluh menjadi prioritas percepatan adopsi teknologi ini.
Dalam paparannya, Prof. Dr. Dedi Nursyamsi menyebut biochar sebagai teknologi yang mampu mengubah sistem pertanian Indonesia.
“Biochar menjadi teknologi kunci yang mengubah wajah pertanian Indonesia sehingga tidak dituding sebagai penyumbang emisi, tetapi justru sebagai sekuestrasi karbon,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa biochar dapat menyuburkan tanah sekaligus mengunci karbon dalam jangka sangat panjang. “Karbon seperti dikunci di dalam tanah dengan periode panjang. Teknologi ini membuat sistem pertanian menjadi rendah karbon,” tegasnya.
Prof. Mitsuru Osaki mencontohkan implementasi biochar di Jepang dan Thailand yang mampu meningkatkan produktivitas dan menurunkan penggunaan input sintetis.
Sementara itu, Dr. Akira Shibata menjelaskan mekanisme Microbiome–Matrix–Microbiome yang membuat biochar efektif menyimpan karbon dalam kondisi stabil.
Dari sisi standardisasi, Prof. Bambang Kusumo menilai perlunya standar mutu nasional.
“Dibutuhkan standar nasional ketika biochar diproduksi dan dikembangkan secara komersial,” ujarnya. Ia menekankan bahwa SNI perlu diperluas agar mencakup biomassa pertanian yang beragam.
Hasil riset dan demplot menunjukkan biochar mampu meningkatkan hasil panen padi 8–36 persen dan menurunkan kebutuhan pupuk 20–60 persen. Pemanfaatannya juga berpotensi menghemat biaya pupuk hingga USD 4,6 miliar dan menghasilkan nilai kredit karbon mencapai USD 565 juta per tahun.
Workshop ini merumuskan lima agenda strategis, mulai dari penetapan spesifikasi mutu biochar hingga penyusunan draf Standar Mutu Biochar Indonesia. Forum ini sekaligus membuka peluang integrasi biochar skala petani ke dalam mekanisme pasar karbon regional maupun global.
Dengan dukungan standardisasi, sertifikasi, serta peningkatan kapasitas SDM, biochar diharapkan menjadi teknologi kunci dalam peningkatan produktivitas dan penguatan pertanian rendah karbon di Indonesia.