Saat ini dunia sedang mengalami perubahan, meskipun perubahan memang keniscayaan yang selalu terjadi, namun akhir-akhir ini perubahan sangat terasa oleh kita. Perubahan itu diantaranya adalah perubahan iklim, yakni berubahnya komposisi gas di atmosfer yang terjadi dalam jangka waktu yang lama yang diakibatkan oleh adanya aktivitas manusia.
Aktivitas manusia seperti apa yang menyebabkan perubahan iklim? Semua aktivitas manusia apapun bentuknya, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, tidak terbatas pada bertani, berkebun, berkendara, menggunaan AC, penerangan, apalagi aktivitas ekonomi yang akhirnya menghasilkan sampah dan limbah, semua akan berdampak pada perubahan iklim baik secara langsung maupun tidak langsung. Hanya kadarnya yang berbeda, dampaknya yang variatif. Oleh karena itu, kita semua perlu menyadari dan memahami kenyataan fenomena perubahan iklim ini sebagai sebab-akibat hukum alam yang tidak bisa dihindari.
Allah SWT telah menciptakan Bumi dan seisinya ini dengan tepat dan sesuai ukurannya. Hal ini telah disampaikan oleh Allah melalui firman-Nya dalam QS. AL-Qomar ayat 49
إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَٰهُ بِقَدَرٍ
Artinya : “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
Berdasarkan tafsir Kementerian Agama RI, yang dimaksud ukuran adalah suatu system dan ketentuan yang telah ditetapkan. Bila kita tarik sains Islam ini lebih luas, keteraturan system yang Allah ciptakan untuk hajat manusia di dalamnya bermakna bahwa kita patut untuk menjaga, memelihara dan mendayagunakan semua ciptaan Allah secara proporsional sebagai sarana untuk beribadah dan menjalankan fungsi kekhalifahan agar sistem terpelihara untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Komposisi gas dan udara yang ada di atmosfer sudah diciptakan oleh Allah sedemikian rupa sehingga nyaman untuk kehidupan makhluk hidup. Namun aktivitas manusia yang degradatif, destruktif, berlebih-lebihan dan tidak ikut aturan alam lah yang sejatinya mengganggu komposisi yang sudah Allah ciptakan ini. Itulah yang akhirnya menyebabkan perubahan iklim. Dampaknya, hujan dan kemarau menjadi tidak bisa diprediksi, dengan intensitas dan frekuensi yang tinggi; akhirnya banjir, longsor, atau bahkan kekeringan; suhu udara menjadi lebih panas. Semua fenomena iklim itu berefek pada salah satunya penyediaan bahan pangan.
Lahan-lahan pertanian produktif yang tengah menghadapi alih fungsi lahan akibat didesak oleh pembangunan infrastruktur dan perumahan, karena perubahan iklim terjadi, juga berhadapan dengan ketersediaan air yang sekarang sulit dikontrol. Pada lahan-lahan basah, air menggenangi lahan pertanian dengan durasi lama, sedangkan di lahan-lahan kering, potensi kekeringan mengalami peningkatan. Tingginya suhu menjadi tantangan tersendiri selain mengakibatkan laju evaporasi yang tinggi, juga meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit pada tanaman. Produksi tanaman menjadi tidak optimal dan ringkasnya, ketersediaan pangan terganggu oleh sistem yang berubah tersebut. Padahal di sisi lain, permintaan bahan pangan dari waktu ke waktu tidak mungkin mengalami penurunan, karena pangan merupakan hajat utama manusia.
Di tengah-tengah kondisi seperti ini, kita perlu bersiap, adaptasi dan jadikan momentum ini sebagai introspeksi kita untuk merenungkan kembali perintah-perintah Allah dan sunnah Rasul yang mungkin kita lupakan dan abaikan. Dari sekian banyak perintah Allah dan sunah Rasul yang sangat relevan dengan fenomena alam yang khatib sampaikan sebelumnya, salah satunya berkaitan dengan adab makan. Dua diantara adab makan ini adalah menakar dan menghabiskan makanan.
Mengapa menakar makanan menjadi penting? Mari kita lihat firman Allah SWT dalam QS. Al-A’raf ayat 31
وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ وَلَا تُسْرِفُوٓا۟ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ
Artinya : “makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Makna “isrof” pada ayat ini adalah melampaui batas kewajaran, artinya dalam makan dan minum harus proporsional, tengah-tengah; tidak sedikit dan tidak pula banyak; tidak yang mahal dan tidak pula yang sangat murah; tidak mewah dan tidak pula yang murahan. Jadi yang sedang-sedang saja, sederhana, proporsional, sewajarnya.
Kaitannya dengan menakar makanan adalah jangan sampai berlebihan dalam membelanjakan atau mengambil makanan karena sebab apapun, karena di dalamnya minimal ada 2 pelanggaran etis. Pertama, kebanyakan makan tidak disukai oleh Allah karena membuat badan lemas, tidak energik melakukan aktifitas dan cenderung malas bergerak. Belum lagi berpotensi munculnya penyakit degradatif, seperti diabetes, koletesterol dan lainnya. Kedua, berpotensi tidak dimakan, mubadzir dan akhirnya dibuang.
Berkaitan dengan menakar makanan, Rasulullah SAW memberikan pedoman melalui hadist, yang sebagian potongan matannya
، فإن كان لا محالة فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
Artinya : “Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas.” (HR At-Tirmidzi (2380))
Dari hadist ini kita mengambil hikmah bahwa batasan untuk perut kita, hanya 2/3 saja yang untuk diisi makanan dan minuman, sedangkan sisanya 1/3 untuk pergantian udara. Tentu masing-masing kita mempunyai ukuran kuantitatif sendiri sesuai dengan umur. Namun kita berpedoman pada ahli kesehatan dan ahli gizi, berapa takaran dan ukuran yang tepat bagi masing-masing diantara kita.
Berkaitan dengan kadar makanan untuk kita, ada sebuah kisah sarat pelajaran dalam kitab Ar-Rahmah fi Thib wa Al-Hikmah karya Imam Jalaludin As-Suyuthi. Dalam kitab ini dikisahkan tentang seorang raja Kisra, Persia yang meminta resep obat kepada empat dokter dari empat negeri yang berbeda, yakni Irak, Eropa, India, dan Sudan. Raja Kisra meminta resep obat yang tidak ada efek sampingnya kepada empat orang dokter itu.
Masing-masing dokter memberikan resepnya kepada Raja Kisra. Dokter dari Irak memberikan resep agar minum tiga teguk air hangat setelah bangun tidur pada pagi hari. Sedangkan dokter dari Eropa menyarankan agar setiap hari menelan sedikit biji rasyad (sejenis sayuran). Giliran ketiga dokter dari India mengatakan agar makan tiga biji ihlilaj hitam (sejenis gandum yang tumbuh di Afghanistan, India, dan Cina) setiap hari.
Sedangkan dokter dari Sudan memberikan resep yang agak berbeda. Setelah diberi kesempatan berbicara, dokter Sudan itu berkata, “Wahai Tuanku, semua baik tapi masih ada efek sampingnya. Air hangat dapat menghilangkan lemak ginjal dan melonggarkan lambung. Sedangkan biji rasyad dan ihlilaj dapat mengeringkan jaringan tubuh di pencernaan.”
Kemudian raja bertanya kepada dokter dari Sudan, “Lalu, apa yang ingin kamu katakan?” Dokter Sudan itu berkata, “Wahai Tuan kami, obat yang tidak ada efek sampingnya adalah makan setelah lapar, lalu angkatlah tangan Anda dari makanan sebelum kenyang. Maka anda tidak akan terkena penyakit kecuali penyakit mati.” Kemudian, ketiga dokter tadi membenarkan perkataan dokter Sudan itu. Maka muncullah kata Mutiara ini, makan setelah lapar, berhenti sebelum kenyang.”
Adab makan yang kedua yang tidak kalah penting berkaitan dengan permasalahan perubahan iklim adalah menghabiskan makanan. Nilai intrinsik dalam satu butir nasi itu amat mahal karena mengalami proses yang teramat panjang dengan keterlibatan banyak energi. Kalau kita cermati, untuk mendapatkan sebulir nasi dimulai dari pengolahan lahan, disemai, ditanam, dipupuk, disiangi, dijaga agar tidak kena hama dan penyakit. Belum lagi proses yang panjang mulai dari panen dan pascapanen sampai menjadi beras. Sesudah jadi beras pun, masih dibersihkan, dimasak sampai siap tersaji di hadapan kita. Energi yang diperlukan untuk menghasilkan sebulir nasi tidak sedikit, dan itu sedikit banyak mempengaruhi komposisi gas yang ada di atmosfer. Itu masih sebulir nasi, belum jenis makanan yang lain seperti lauk, sayur dan buah-buahan. Maka pertanyaan refleksi bagai kita, bagaimana cara bersyukur kita kepada Allah yang telah menciptakan alam dengan sesempurna ini? Bagaimana cara berterimakasih kita pada orang-orang yang berkontribusi dalam proses menghasilkan 1 bulir nasi?
Maka, ketika kita sudah mengambilnya dalam piring makan kita, sebaiknya lah kita habiskan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan mengambil makanan yang jatuh dan membersihkan jari-jari dari sisa makanan yang ia makan. Yang jatuh saja, yang mungkin kita tidak sengaja, kita diminta mengambil, lantas layakkah kita sampai menyisakan dan membuang makanan. Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita terhadap keberkahan makanan yang kita makan. Sabda beliau :
فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ فِيْ أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ
Artinya : “Karena kalian tidak mengetahui di bagian makanan yang manakah keberkahan itu berada.” (HR. Muslim (1607))
Hadits ini mejadi motivasi bagi kita untuk tidak menyisakan makanan yang terhidang dalam piring kita, agar kita sempurnakan keberkahan terhadap rizki Allah berikan pada kita. Keberkahan pada makanan, tidak cukup dengan berdoa di awal dan akhirnya, namun juga sikap penghargaan kita terhadap makanan itu.
Data menarik yang dipaparkan oleh The Economics Intelligence Unit tahun 2021, bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan (food loss and waste/FLW) terbesar kedua di dunia. Hal ini didukung oleh penelitian Bappenas (2021) yang didapatkan bahwa persentase sampah makanan Indonesia telah mendominasi hingga 44 persen dari seluruh jenis limbah sampah. Adapun jumlahnya jika dikalkulasi, setiap orang menghasilkan sampah makanan sebanyak 115-185 kg per tahun atau 10-15 kg perbulan. Bisa dibayangkan betapa mubadzirnya. Data ini sangat mengherankan, bagaimana tidak? penghasil sampah ini adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yang mana agama ini mengajarkan untuk menghargai makanan.
Semoga kita semua selalu introspeksi dan mengambil pelajaran ini untuk menjadi muslim yang kaffah, muslim paripurna.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Agama ini sempurna mengatur seluruh sisi aspek kehidupan kita. Termasuk persoalan yang mungkin kita anggap sepele, namun justru dampaknya sangat besar karena dilakukan oleh banyak orang dan terus-menerus. Makanan yang tidak kita takar akhirnya tidak kita makan karena kekenyangan atau makanan yang kita sisakan apapun alasannya, dilakukan setiap waktu dan oleh banyak orang, akan mempercepat terjadi perubahan iklim. System yang suah diciptakan oleh Allah ini lambat laun akan rusak oleh tangan-tangan kita, umat manusia. Jika ahli lingkungan mengatakan mempercepat terjadinya kiamat. Kiamat ekologis. Hal ini telah Allah ingatkan dalam firman-Nya pada Al-Quran surat Ar-ruum ayat 41.
Pada kesempatan ini khatib mengajak kita semua, mari mulai diri sendiri, mulai dari sekarang, ajak keluarga kita untuk menghargai makanan. Meskipun sekarang kita mampu untuk membelinya, jangan sia-siakan makanan meski sebulir nasi. Bisa jadi, sedikit nasi yang tercecer saat kita makan berkontribusi pada terjadinya perubahan iklim, menurunnya kualitas system yang telah Allah ciptakan, yang mengusik manusia di belahan Bumi lain atau makhluk hidup lain. Dan bisa jadi, semuanya akan meminta pertanggungjawaban kelak di sisi Allah SWT atas kontribusi kita itu. Wallahu a’lam.
[ Aman Nurrahman Kahfi, S.T.P., M.Sc. ]